
Malam Satu Suro merupakan waktu khusus yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Namun, belum banyak yang tahu mengenai sejarah Malam Satu Suro dalam kebudayaan suku terbesar di Indonesia ini.
Secara singkat, Malam Satu Suro masih berkaitan dengan pengenalan penanggalan Islam di Pulau Jawa. Pengenalan ini dilakukan saat masa penyebaran agama tersebut.
Sejarah Malam Satu Suro di Pulau Jawa

Sejarah Malam Satu Suro dimulai dari pengenalan penaggalan Islam pada masyarakat Jawa sekitar tahun 931 Hijriah atau 1633 Masehi. Pengenalan ini terjadi pada masa Sultan Agung Hanyrokusumo berkuasa di Kerajaan Demak.
Tujuan pengenalan ini adalah untuk mempersatukan rakyat tanpa memandang perbedaan keyakinan agama. Jika rakyat sudah bersatu, maka persiapan untuk menyerang Belanda di Batavia akan menjadi lebih matang.
Pengenalan ini dibantu oleh Sunan Giri II yang melakukan perubahan sistem penanggalan Jawa menjadi penanggalan Islam atau Hijriah. Menariknya dalam perubahan ini, 1 Suro yang bertepatan dengan 1 Muharram dimulai pada hari Jumat Agung. Hari tersebut dianggap sakral dan sial bila digunakan selain ibadah dan transportasi.
Pada hari Jumat ini, berbagai kegiatan lain juga terjadi. Contohnya adalah penyiapan laporan pembuatan pemerintah daerah, pemakaman serta ziarah ke makam Sunan Giri dan Sunan Ampel, dan pembuatan pernyataan bupati.
Malam Satu Suro di Masa Kini

Kini, Malam 1 Suro menjadi tradisi bagi masyarakat Jawa. Menurut 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia, Fitri Haryani Nasution (2019: 41), masyarakat percaya akan nuansa mistis dan gaib pada malam ini sehingga melahirkan berbagai festival, seperti.
1. Mubeng Beteng
Mubeng Beteng merupakan festival yang dilakukan dengan kirab mengelilingi Keraton Yogyakarta. Festival ini dijalankan dengan suasana hening yang sarat makna.
2. Grebeg Suro
Di Ponorogo, dikenal festival Grebeg Suro yang dijalankan menjelang Malam Satu Suro. Dalam festival ini, masyarakat akan mengadakan pawai, pertunjukan Reog, dan kirab pusaka.
Jadi, sejarah Malam Satu Suro muncul karena Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin mempersatukan rakyatnya untuk menyerang Belanda di Batavia. Kini, Malam Satu Suro dikenal sebagai waktu khusus yang bernuansa mistis dan gaib. (LOV)