Pengusaha-Regulator Dunia Belum Sepakat soal Status Pekerja di Platform Digital

1 month ago 5
 Violaine Martin / ILOPlenary session, 113th International Labour Conference, Palais des Nations, Geneva, Switzerland. 13 June 2025. Foto: Violaine Martin / ILO

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan pentingnya kebijakan global yang adaptif, realistis, dan mendukung ekosistem ekonomi digital dalam Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC) ke-113 di Palais des Nations, Jenewa, Swiss. Apindo hadir sebagai bagian dari delegasi tripartit Indonesia bersama pemerintah dan serikat pekerja.

Tahun ini, Komite Penetapan Standar ILO memulai pembahasan perdana mengenai Pekerjaan Layak di Ekonomi Berbasis Platform. Seluruh pihak tripartit sepakat akan pentingnya perlindungan menyeluruh, baik bagi pekerja maupun keberlanjutan ekosistem platform, termasuk UMKM.

Delegasi Kelompok Pengusaha Indonesia dan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, mengatakan disepakati pendekatan berbasis prinsip agar instrumen yang dihasilkan fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional masing-masing negara. Dalam pembahasan tersebut, Komite memerlukan dua hari penuh untuk menentukan jenis instrumen yang akan digunakan.

"Mayoritas negara Eropa, Amerika Latin, dan Afrika mendukung Konvensi yang mengikat karena menyesuaikan dengan sistem ketenagakerjaan di negaranya. Sementara negara dengan populasi pekerja platform terbesar seperti China, AS, India, Swiss, dan Jepang, mendorong rekomendasi yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional," ujar Bob dalam keterangan tertulis, Minggu (29/6).

Dia juga menjelaskan, mayoritas pekerja platform di dunia adalah berusaha sendiri serta pentingnya menjaga kestabilan agar tidak mematikan UMKM yang sangat bergantung pada ekonomi digital.

Nantinya, hasil akhir akan disusun berbentuk konvensi, sementara pembahasan substansi baru mencakup sekitar 15 persen dan belum menghasilkan kesepakatan akhir.

Bob menilai, hal tersebut menunjukkan kompleksitas isu dan perlunya kehati-hatian agar instrumen tidak menghambat pertumbuhan ekonomi digital, serta tetap menghormati sistem hukum dan ketenagakerjaan di tiap negara.

 ApindoApindo dan delegasi Indonesia di ILC. Foto: Apindo

Selama pembahasan ILC, kata Bob, disepakati bahwa definisi pekerja platform mencakup penyedia layanan dalam platform, baik sebagai pekerja dalam hubungan kerja, mereka yang berusaha sendiri, maupun kategori khusus lainnya, tergantung konteks nasional negara masing-masing. Tidak ada asumsi otomatis bahwa semua pekerja platform harus dianggap sebagai pekerja dalam hubungan kerja.

Dalam sidang plenary ILC ke-113, Bob juga menyampaikan bahwa kondisi global saat ini masih menantang, mulai dari ketidakpastian perdagangan hingga tekanan nilai tukar dan naiknya biaya produksi dalam negeri. Hal ini berdampak pada sektor padat karya yang terpaksa mengurangi tenaga kerja.

Meski demikian, ekonomi Indonesia tetap tangguh dengan pertumbuhan 4,87 persen di kuartal pertama 2024. Namun tantangan ketenagakerjaan masih besar: 7,47 juta pengangguran, 11,56 juta setengah menganggur, dan tingginya proporsi pekerja informal.

Menurut BPS, tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,91 persen. Pemerintahan Presiden Prabowo menjadikan perluasan lapangan kerja sebagai prioritas, menargetkan pertumbuhan 8 persen dan penciptaan 19 juta pekerjaan.

Dunia usaha dan pekerja perlu dilibatkan sebagai mitra strategis untuk memastikan akses kerja, termasuk melalui potensi pertumbuhan ekonomi digital yang diproyeksikan tumbuh dari USD 82 miliar (2023) menjadi USD 360 miliar (2030)1 dengan Indonesia menyumbang sepertiga dari total ekonomi digital ASEAN.

“Prinsip decent work di platform harus dirancang hati-hati agar tidak menghambat fleksibilitas dan inovasi—dua elemen kunci penciptaan lapangan kerja di era digital. Dunia usaha berharap ILO menghasilkan instrumen yang melindungi tenaga kerja tanpa memaksakan model kerja konvensional,” tutup Bob.

Instrumen yang dirumuskan juga wajib menghormati sistem hukum ketenagakerjaan dan hukum bisnis di masing-masing negara. Ruang lingkup platform yang dibahas juga luas, tidak hanya yang berbasis lokasi seperti transportasi dan pengantaran, tetapi juga platform digital berbasis online seperti telehealth, pariwisata digital, edutech, freelancer, hingga pekerjaan kreatif.

 Pierre Albouy / ILO.Ms Ewa Staworzynska, Employer Vice-Chairperson, CNP. Conference Plenary morning session. 113th International Labour Conference, Palais des Nations, Geneva, Switzerland. 13 June 2025. Foto: Pierre Albouy / ILO.

Juru Bicara Kelompok Pengusaha Internasional asal Amerika Serikat, Ewa Staworzynska, menekankan poin utama dalam draf instrumen untuk pembahasan yang akan datang. Pertama, regulasi harus menghormati perbedaan status tenaga kerja dalam berbagai bentuk hukum dan tidak menyamaratakan hak serta kewajiban pekerja dalam hubungan kerja dengan mereka yang berusaha sendiri.

Kedua, ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perlu disesuaikan dengan kebutuhan fleksibilitas tenaga kerja yang bekerja dalam berbagai platform secara bersamaan. Ketiga,

seluruh pekerja harus dijamin akses terhadap jaminan sosial melalui skema yang sesuai dengan status tenaga kerja dalam berbagai bentuk hukum dan konteks nasional.

Terakhir, regulasi harus dapat mendorong pertumbuhan ekosistem platform, termasuk UMKM dan wirausaha, tanpa membatasi inovasi secara berlebihan, misalnya lewat pengawasan terhadap penerapan algoritma platform yang terlalu ketat.

“Diskusi tahun pertama ini membuktikan pentingnya dialog sosial. ILO harus tetap menjadi lembaga rujukan, bukan ruang legislasi yang memaksakan agenda nasional atau regional,” tegas Ewa dalam sidang pleno.

Read Entire Article