
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menghadapi Firaun, itu bukan sekadar misi dakwah spiritual. Itu adalah perjumpaan antara kebenaran dan kekuasaan. Antara risalah Ilahi dan kesombongan manusia. Firaun bukan hanya menolak kebenaran, ia mengklaim diri sebagai tuhan. Ia menuhankan kekuasaannya dan yang lebih mengerikan, kekuasaannya tidak berdiri sendiri.
Ia ditopang oleh sistem yang dibangun dari rekayasa, sihir, dan konspirasi elite: Hāmān sang birokrat licik, Qārūn si oligarki, dan Sāmirī sang manipulator agama. Namun di tengah kegelapan itulah Allah menurunkan cahaya: sebatang tongkat—yang mewakili mukjizat, sekaligus simbol dari kebenaran yang kokoh, sederhana, namun tak bisa dikalahkan.
Lebih dari Sekadar Sejarah
Kisah ini bukan dongeng untuk anak-anak. Tetapi cermin bagi siapa pun yang hidup di zaman ketika tipu daya lebih laris daripada ketulusan, ketika suara-suara kebenaran dikalahkan oleh pengeras suara propaganda.
Mukjizat tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular bukan sekadar adu sulap. Itu adalah pertarungan antara hakikat dan kepalsuan. Antara kejujuran dan siasat licik, dan seperti yang dicatat dalam Al-Qur’an:
Ketika Kekuasaan Didewakan
Firaun menyebut dirinya tuhan. Tapi hakikatnya, ia hanya sedang menuhankan kekuasaannya. Ia terperangkap dalam jebakan kecongkakan. Ia tidak bisa membedakan antara amanah dan ambisi. Kekuasaan yang seharusnya jadi sarana pengabdian kepada Allah, ia jadikan tujuan. Inilah bentuk penyimpangan spiritual yang paling halus namun paling membinasakan: ketika kekuasaan bukan lagi alat, tapi berhala baru yang disembah.
Itu pula yang terjadi hari ini. Banyak yang mengira berjuang untuk rakyat, padahal sedang memperjuangkan kursi. Banyak yang bersumpah atas nama Tuhan, padahal diam-diam menyusun siasat untuk menipu amanah-Nya. Ada yang tersenyum di mimbar, tapi tangan mereka sedang menggenggam pisau pengkhianatan. Mereka bukan sekadar menyimpang dari aturan, tapi telah mengkhianati roh dari risalah kebenaran.
Panggung Kekuasaan: Kontestasi atau Koalisi Kebatilan?

Hari ini, panggung demokrasi tak beda jauh dengan arena sihir di masa Firaun. Ada yang mengeklaim membawa kebenaran, tapi menjual jabatan dengan harga kesetiaan. Ada yang mengejar jabatan bukan karena kompetensi atau niat tulus mengabdi, melainkan karena “sudah setor”, “sudah janji”, atau “harus ganti rugi”.
Proses politik, hukum, bahkan birokrasi pun terkontaminasi. Ada kontestasi pilkada yang penuh manipulasi data. Ada seleksi jabatan yang diwarnai titipan. Ada promosi dalam institusi-institusi yang semestinya netral, tapi disusupi oleh pesanan dan permainan uang. Kebenaran tidak dicari, tapi ditutupi. Yang dicari bukan siapa yang layak, tapi siapa yang bisa “diatur”.
Para penguasa seolah kehilangan kemampuan untuk mendengar. Bukan karena tuli secara fisik, tapi karena sudah terlalu kenyang dengan sanjungan, terlalu pekak terhadap kebenaran. Dan seperti Firaun, mereka menolak setiap ajakan untuk kembali kepada nilai ilahi—karena terlalu takut kehilangan tahta.
Tongkat Musa Hari Ini
Maka yang dibutuhkan hari ini bukan pidato tentang perubahan, tapi tongkat Musa yang menggulung kebohongan. Kita tidak butuh sihir baru yang lebih canggih, tapi keberanian untuk membawa satu kebenaran yang kokoh dan jujur.
Tongkat itu bisa berupa keberanian seorang pemimpin untuk berkata jujur, walau harus kehilangan jabatan. Bisa berupa sistem seleksi yang bersih dari suap. Bisa berupa penegakan hukum yang adil, bukan berpihak pada pemilik modal atau kekuasaan. Bisa juga berupa satu suara dari rakyat biasa yang berani bersaksi atas kebenaran, meski harus menghadapi tekanan. Namun seperti kisah Nabi Musa, tidak semua akan menerima kebenaran.
Bahkan ketika kebenaran telah terbukti, banyak yang tetap membela kebatilan—karena sudah terlalu dalam berada di dalamnya. Tapi Al-Qur’an juga mencatat: ada para penyihir yang sadar. Mereka yang awalnya dibayar untuk membela Firaun, justru sujud setelah melihat kebenaran dari tongkat Musa. Inilah harapan yang tidak boleh padam. Bahwa selalu ada orang-orang yang tersentuh oleh kebenaran, meski berada di tengah sistem yang bobrok. Dan merekalah yang menjadi benih dari perubahan sejati.
Saatnya Menegakkan Kebenaran
Hari ini, kita sedang hidup dalam dunia penuh sihir: narasi palsu, pencitraan, rekayasa data, politik transaksional, dan penyesatan opini publik. Tapi seperti sejarah membuktikan, semua sihir itu akhirnya kalah oleh satu tongkat—tongkat kebenaran.
Pertanyaannya bukan kapan tongkat itu akan datang. Tapi siapakah di antara kita yang berani memegangnya?
Kebenaran bukan soal menang atau kalah di dunia. Ia adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dan bila kita tidak berdiri di sisi kebenaran hari ini, bisa jadi kelak kita termasuk dalam barisan yang ditelan oleh ular kebohongan yang kita pelihara sendiri.
Karena kebenaran itu pasti menang. Tapi apakah kita berada di pihaknya, atau melawannya—itu adalah pilihan.
Barakallāhu fīkum wa fī a‘mālikum.