Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) bergerak cepat untuk memberantas produk obat dan makanan mengandung bahan berbahaya. BPOM berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan ini dari hulu ke hilir melalui Kick Off Aksi Bersama Pencegahan dan Penanganan Rantai Pasok Bahan Berbahaya/Bahan Dilarang
Deputi Bidang Penindakan BPOM, Tubagus Ade Hidayat menyampaikan bahwa tren tindak pidana terkait obat dan makanan terus meningkat dalam 5 tahun terakhir. Pada 2024, PPNS BPOM menangani 282 perkara, terdiri dari 124 perkara obat dan NAPZA, 55 perkara obat bahan alam, 91 perkara kosmetik, dan 12 perkara pangan olahan.
"Sejumlah temuan menunjukkan nilai keekonomian yang signifikan, di antaranya perkara obat-obat tertentu di Semarang, Cikarang, dan Marunda senilai Rp 398 miliar, serta perkara kosmetik mengandung bahan berbahaya di beberapa kota dengan nilai Rp 5,5 miliar," kata Tubagus di Kantor BPOM, Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Fakta menarik, di berbagai lokasi kasus juga ditemukan bahan baku berbahaya seperti formalin, merkuri, tramadol, hingga hidrokinon," sambungnya.
Kasus besar yang disorot antara lain temuan ratusan drum/tong berisi BKO di Semarang, Jawa Tengah serta Marunda dan Cikarang, Jawa Barat dengan nilai ekonomi Rp 389 miliar; OBA mengandung BKO di Klaten dan Kudus, Jawa Tengah senilai Rp3,74 miliar; kosmetik mengandung bahan berbahaya di Tangerang, Banten dan kota lainnya senilai Rp 5,5 miliar.
Lalu pangan olahan berupa mi basah mengandung formalin di Pematang Siantar, Sumatera Utara senilai Rp 200 juta. Pada sebagian besar kasus tersebut, di samping produk jadi ditemukan bahan baku dilarang/bahan berbahaya.
Menjaga Daya Saing Ekonomi Nasional
Senada, Kepala BPOM RI Taruna Ikrar menegaskan pentingnya aksi bersama ini untuk melindungi kesehatan masyarakat sekaligus menjaga daya saing ekonomi nasional.
Obat dan makanan adalah kebutuhan dasar yang harus aman dan bermutu. Pada 2025, potensi pasar obat dan makanan diperkirakan mencapai Rp 4.674 triliun dan menyumbang 8,7 persen PDB.
"Namun (perlindungan masyarakat) tantangannya besar, karena masih marak peredaran produk mengandung bahan berbahaya yang berisiko merusak organ, meningkatkan risiko kanker, hingga menyebabkan kematian," kata Taruna.
"Selama bahan berbahaya mudah didapatkan, penyalahgunaan dalam produksi masih sangat mungkin terjadi. Karena itu, kita harus bergerak bersama dari hulu dengan kolaborasi lintas sektor," lanjutnya.
Ancaman Pidana
Ikrar menegaskan bahwa pelanggar akan berhadapan dengan sanksi pidana jika ketahuan memakai bahan berbahaya atau yang dilarang untuk produksi farmasi dan pangan olahan.
"Kami tidak segan menindak tegas pelanggar dengan sanksi hukum pidana maupun administratif, agar muncul efek jera. Perlindungan kesehatan masyarakat sekaligus keberlangsungan industri nasional adalah prioritas utama kami," tegas Ikrar.
"Selama bahan berbahaya masih bebas beredar tidak sesuai ketentuan, maka selama itu juga kesehatan masyarakat akan terancam. Untuk itulah pencegahan dan penanganan rantai pasok bahan berbahaya dan bahan dilarang harus menjadi fokus utama," tutupnya.
Aksi ini melibatkan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, Bareskrim Polri, dan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta asosiasi hingga pelaku usaha.
Serta beberapa asosiasi dan pelaku usaha yang memiliki komitmen sama di antaranya Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), Indonesian E-Commerce Association (IdEA), PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres (ASPERINDO), serta Perkumpulan Perusahaan Pemeriksa Keamanan Kargo dan Pos Indonesia (PAPPKINDO).
(dpy/kna)