Bahlil mengatakan bahwa angka tersebut sudah mencapai 50,4 persen dari target pemanfaatan B40 pada tahun 2025 yang berjumlah 13,5 juta KL.
“Target kita kan 13,5 juta di tahun 2025. Realisasinya sudah 6,8. Artinya sudah sampai dengan 50,4 persen dan Insya Allah akan terjadi (capai target),” kata Bahlil dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (11/8).
Bahlil mengatakan, penerapan B40 akan berlaku untuk public service obligation (PSO) maupun non-PSO. Berdasarkan paparannya, penggunaan B40 diperkirakan dapat menghemat devisa hingga USD 3,68 miliar pada 2025.
Meski demikian, Bahlil menyatakan pihaknya masih mengkaji skema agar industri non-PSO dapat memperoleh B40 dengan harga yang lebih kompetitif.
“Nah, kita lagi mencari formulasi untuk bagaimana agar perusahaan-perusahaan industri bisa memakai B40 dengan harga yang terjangkau,” tambahnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan program B40 menemui berbagai kendala dan keterbatasan anggaran.
Eniya mengungkapkan anggaran Kementerian ESDM di 2025 dipangkas 42 persen atau mencapai Rp 1,66 triliun. Hal itu, kata Eniya, berdampak pada anggaran pengawasan B40. Kementerian ESDM saat ini tengah bernegosiasi dengan BPDPKS untuk turut mendukung pendanaan pengawasan.
"Saat ini memang karena ada efisiensi anggaran, pengawasan saat ini kita sudah upayakan negosiasi untuk dilakukan pendanaan juga tambahan dari BPDP untuk bisa melakukan pengawasan bersama implementasi dari program B40," ujar Eniya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR, dikutip Senin (11/8).
Eniya menilai keputusan itu imbas keterbatasan dana insentif dari BPDPKS. Hal ini kemudian berdampak pada terjadinya persaingan di lapangan karena perbedaan ongkos angkut antara biodiesel PSO dan non-PSO.