Plastik Bening, Harga Diri Penjual Kerupuk Tenggiri di Pinggir Jalan Jogja

1 month ago 4
 Pandangan Jogja/Resti DPara penjual kerupuk tenggiri asal Palembang di perempatan Condongcatur, Sleman. Foto: Pandangan Jogja/Resti D

Di perempatan Condongcatur, Sleman —salah satu perempatan paling sibuk di Jogja, sejumlah pemuda berdiri di pinggir jalan sambil membawa plastik besar berisi kerupuk. Mereka menyusuri trotoar dan menawarkan dagangan kepada pengendara yang berhenti saat lampu berwarna merah, atau saat terjebak macet.

Plastik pembungkus kerupuk itu tetap bening, meski diterpa debu jalanan dan asap kendaraan bermotor.

Salah satu dari mereka, Hendra Kirana (25), mengungkapkan mengapa plastik-plastik itu tetap bersih dan bening.

“Diganti dua hari sekali. Kalau kotor, langsung diganti. Enggak enak dilihat pembeli kalau warnanya burem. Yang lama langsung dibuang, dibakar,” kata Hendra saat ditemui Pandangan Jogja di perempatan Condongcatur, Sleman, Rabu (11/6).

Bagi Hendra, plastik yang bening bukan sekadar tampilan. Itu adalah bagian dari merebut kepercayaan calon pembeli. Plastik yang bening seperti harga diri, mertabat yang mereka pertaruhkan di depan pembeli.

“Pembelinya orang-orang bersih. Kalau kelihatan kotor, nanti enggak dibeli. Memang dijaga betul, jangan sampai kotor, kalau hujan mending enggak jualan,” tambahnya.

Datang dari Palembang, Jualan Kerupuk Sejak 2013

Hendra menyebut, ia dan rekan-rekannya berasal dari Palembang, Sumatra Selatan. Mereka datang memang untuk berjualan kerupuk tenggiri khas kampung halamannya.

“Kalau asalnya orang Palembang semua. Asli orang Palembang. Tapi lain-lain kecamatan aja,” ujarnya.

 Pandangan Jogja/Resti DPara penjul kerupuk asal Palembang di Jogja menumpang truk tronton. Foto: Pandangan Jogja/Resti D

Ia sendiri mulai menetap di Jogja sejak tahun 2013. Hampir setiap hari selama 12 tahun terakhir, ia berdagang kerupuk di perempatan-perempatan besar di kota ini.

“Kalau saya, dari tahun 2013. Full di sini. Enak aja, kak, Jogja. Satu, enak. Orangnya ramah-ramah. Dan kedua, makannya murah. Nggak kayak daerah-daerah lain, kan,” tuturnya.

Kerupuk yang mereka jual diproduksi sendiri dari sebuah dapur yang ada di daerah Giwangan. Setiap sore, mereka berangkat dari Giwangan ke titik-titik strategis Jogja, seperti perempatan Monjali, Denggung, atau Condongcatur.

“Orangnya 12. Ada yang goreng, ada yang jual. Nanti gantian lagi,” jelas Hendra.

Bantu Sekolahkan Adik dari Jualan Kerupuk

Dalam sehari, Hendra bisa menjual rata-rata 40-45 bungkus kerupuk tenggiri. Satu bungkus ia jual dengan harga Rp5 ribu dengan keuntungan per bungkus Rp2 ribu.

Jika sedang ramai, ia bisa menjual lebih dari 80 bungkus, namun itu jarang. Dari penghasilan itu, ia berusaha sebisa mungkin menyisihkan agar bisa mengirimkan uang ke orang tua di kampung.

“Kalau hari sepi, ya buat makan aja cukup. Tapi kalau ramai, bisa buat kirim orang tua. Bisa juga bantu adik sekolah,” ujarnya.

Setiap hari, biasanya ia mulai berjualan sekitar pukul 14.00 WIB, dan baru pulang menjelang tengah malam pada 23.00 WIB.

“Harus dibawa senang, apalagi sama teman-teman. Kalau dibilang berat, semua pekerjaan juga berat,” ujar Hendra Kirana.

Read Entire Article