Ekonom: Saya Tidak Percaya Data yang Disampaikan BPS

5 hours ago 2

Jakarta -

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, tidak percaya ekonomi Indonesia tumbuh 5,12% pada kuartal II 2025 ini. Menurutnya terdapat sejumlah kejanggalan dalam data yang disampaikan oleh BPS karena tidak benar-benar mencerminkan kondisi perekonomian Tanah Air yang sebenarnya.

"Pengumuman pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 penuh kejanggalan dan tanda tanya publik. Saya tidak percaya dengan data yang disampaikan (BPS) mewakili kondisi ekonomi yang sebenarnya," kata Nailul kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).

Ia menjelaskan setidaknya terdapat tiga kejanggalan dalam data yang disampaikan oleh BPS terkait pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal kemarin. Misalkan saja dari segi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II bisa lebih tinggi daripada kuartal I yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab secara historis, setiap tahun angka pertumbuhan ekonomi Indonesia biasanya akan mencapai titik tertinggi pada kuartal yang bertepatan dengan Idul Fitri. Kondisi ini didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga berkat pemberian tunjangan hari raya (THR).

"Pertumbuhan ekonomi triwulan II yang lebih tinggi dibandingkan triwulan yang ada momen Ramadan-Lebaran terasa janggal. Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya di mana pertumbuhan triwulan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadan-Lebaran. Triwulan I 2025 saja hanya tumbuh 4.87%, jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan II mencapai 5,12%," terangnya.

Menurutnya kejanggalan ini semakin terlihat dalam data pertumbuhan konsumsi rumah tangga (RT) masyarakat Indonesia. Di mana angka pertumbuhan konsumsi RT kuartal II ini bisa lebih besar daripada kuartal I meski tidak ada faktor pendorong seperti Hari Raya Idul Fitri tadi, menjadikan kejanggalan kedua dalam laporan BPS ini.

Kalaupun memang karena satu dan lain hal konsumsi rumah tangga bisa meningkat, seharusnya laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I kemarin bisa lebih tinggi dari 4,87%. Sebab pertumbuhan konsumsi di kuartal I 2025 tidak jauh beda dengan pertumbuhan konsumsi pada kuartal II 2025.

"Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,96% dengan sumbangan mencapai 50% dari PDB, nampak janggal karena pertumbuhan konsumsi RT triwulan I 2025 hanya 4,89% tapi pertumbuhan ekonomi di angka 4,87%. Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam," paparnya.

Kemudian kejanggalan lain yang menjadi sorotan Nailul adalah pertumbuhan sektor industri pengolahan pada kuartal II ini yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Padahal menurutnya pada kuartal II ini sektor industri manufaktur tengah mengalami tekanan yang terlihat dari pelemahan Purchasing Managers' Index (PMI) pada April hingga Juni 2025.

Artinya perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak melakukan ekspansi atau menambah kapasitas produksi secara signifikan yang dapat meningkatkan angka pada indikator pertumbuhan sektor industri pengolahan. Selain itu, kondisi industri manufaktur juga tengah memburuk yang sangat terlihat dari peningkatan jumlah PHK yang mencapai 32%.

"Pertumbuhan industri pengolahan yang mencapai 5,68%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I 2025. Tidak sejalan dengan PMI manufaktur Indonesia yang di bawah 50 poin dalam waktu April-Juni 2025," papar Nailul.

"Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 pada Juni 2025. Apabila dikaitkan dengan PMTB yang meningkat 6,99% tapi PMI manufaktur di bawah batas ekspansi," jelasnya lagi.

Karena hal inilah Nailul merasa kurang yakin dengan akurasi data BPS untuk perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 ini. Untuk itu ia meminta kepada BPS untuk menjelaskan lebih detail terkait data-data dan indikator perhitungan yang digunakan.

"Ketidaksinkronan antara data pertumbuhan ekonomi dengan leading indikator, membuat saya pribadi tidak percaya terhadap data yang dirilis oleh BPS," tegas Nailul.

"BPS harus menjelaskan secara detail metodologi yang digunakan, termasuk indeks untuk menarik angka nilai tambah bruto sektoral dan juga pengeluaran," pungkasnya.

(igo/fdl)

Read Entire Article