Perpadi Tegaskan 'Oplos' Beras Tak Selalu Curang, Masalahnya di Aturan HET

2 weeks ago 5
Warga memeriksa beras yang dijual di kawasan Pasar Dargo, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/4/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTOWarga memeriksa beras yang dijual di kawasan Pasar Dargo, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/4/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO

Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso, meminta pemerintah untuk tidak gegabah menyalahkan maraknya praktik pencampuran beras atau yang kini ramai disebut sebagai “beras oplosan”. Menurutnya, pencampuran beras tidak serta-merta merupakan tindakan curang atau melanggar hukum.

Praktik mencampur beras dinilai Sutarto sebagai bagian dari realitas industri, bukan semata-mata tindakan manipulatif. Ia menilai istilah "oplosan" telah keburu diberi konotasi negatif, padahal tidak semua pencampuran bertujuan merugikan konsumen.

“Oplosan beras itu nampaknya diartikan pasti jelek, ya. Padahal sebenarnya oplosan itu kan 'pencampuran'. Dicampur itu ada yang memang tujuannya baik, ada yang memang mungkin tujuannya jelek,” jelas Sutarto saat dihubungi kumparan, Sabtu (19/7).

Ia menjelaskan pencampuran beras adalah praktik yang lazim di industri penggilingan karena sejak lama petani menanam berbagai varietas padi dalam satu wilayah. Hal ini membuat proses pemisahan varietas secara ketat menjadi sulit dilakukan saat penggilingan.

“Misalnya di satu desa atau satu kecamatan itu semua sama nanam, misalnya IR64 semua IR64, satu Cianjur semua Cianjur gitu enggak. Jadi ada yang nanem IR64, ada yang nanem Inpari 32, ada yang nanem Legowo. Jadi macam-macam,” ujarnya.

Dalam proses penggilingan, beras dipisahkan menjadi beberapa kategori seperti beras kepala (beras utuh), broken (beras pecah), dan menir. Beras premium, sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023, harus memiliki derajat sosoh di atas 95 persen dan broken tidak lebih dari 15 persen.

“Nah supaya menjadi beras premium tadi, kemudian bisa saja dicampur lagi, broken-nya dimasukkan lagi maksimum 15 persen. Dan jadilah yang disebut dengan beras premium,” terang Sutarto.

Pekerja mengangkat beras di kawasan Pasar Dargo, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/4/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTOPekerja mengangkat beras di kawasan Pasar Dargo, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/4/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO

Namun, ia mengakui pelanggaran dapat terjadi jika beras yang tidak memenuhi standar tetap diklaim sebagai beras premium. “Yang sebenarnya yang dilanggar itu kalau tadi itu dia bilang premium ternyata bukan premium. Kenapa bukan premium? Karena beras pecahnya lebih dari 15 persen,” tegasnya.

Sutarto juga menyoroti kemungkinan adanya praktik mencampur beras komersial dengan beras program pemerintah seperti SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan). Jika itu terjadi, menurutnya, merupakan pelanggaran serius.

“Nah itu memang dioplos dengan beras hasil penggilingan, ya, yang oplos itu bisa macam-macam, bisa distributor, bisa penggilingan. Nah itu juga pelanggaran, kalau terjadi,” kata dia.

Masalahnya di HET Gabah

Meski begitu, menurut Sutarto, persoalan utama bukan terletak pada praktik pencampuran, tapi pada ketidaksesuaian antara harga pembelian gabah dan harga jual beras yang diatur pemerintah. Ia menyoroti kebijakan pemerintah yang menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen menjadi Rp 6.500 per kilogram, sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium tetap Rp 12.500 per kilogram.

“Harga beras itu kan ditentukan oleh salah satunya harga gabah. Kalau harga gabah naik, harga berasnya kemungkinan naik atau tidak? Tapi begitu harga HPP-nya Rp 6.500, kan pemerintah tidak menaikkan, tidak boleh naik, bukan tidak menaikkan saja, tidak boleh naik kan, harus Rp 12.500,” ucap Sutarto.

Petugas mengecek gabah yang dikeringkan di Sentra Penggilingan Padi (SPP) Bulog di Karawang, Jawa Barat, Senin (20/5/2024). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTOPetugas mengecek gabah yang dikeringkan di Sentra Penggilingan Padi (SPP) Bulog di Karawang, Jawa Barat, Senin (20/5/2024). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO

Kondisi tersebut, menurutnya, membuat pengusaha penggilingan terjepit dan harus mencari jalan agar bisa bertahan. Salah satu cara yang ditempuh adalah menurunkan mutu beras agar tetap bisa dijual di bawah HET. Bahkan, beberapa pengusaha memilih untuk menghentikan produksi karena terus mengalami kerugian.

“Nah, untuk itu tentunya harus ada solusi. Solusinya apa? Ya ditinjau dong HET-nya. Kalau HPP-nya naik, kenapa HET-nya tidak naik? Sehingga tidak ada kucing-kucingan lagi, tidak ada yang nakal lagi,” ungkapnya.

Menurut Sutarto, beban finansial yang harus ditanggung pelaku penggilingan juga cukup besar, mulai dari cicilan perbankan hingga gaji karyawan. Dalam situasi sulit, ada yang “nakal” mencampur jenis beras atau menurunkan mutu, tapi ada juga yang memilih berhenti produksi demi menghindari kerugian lebih besar.

“Jangan sampai harus PHK. Itu yang jadi pertimbangan teman-teman penggilingan. Ada yang akhirnya ‘nakal’, supaya tetap laku dan kerugiannya tidak besar. Tapi ada juga yang memilih berhenti, dan itu justru lebih sehat,” ujarnya.

Terkait pelabelan produk beras, Sutarto menegaskan Perpadi tidak akan membiarkan anggotanya memberikan label yang menyesatkan. “Kami tegur kalau ada yang menyebut itu premium padahal tidak. Atau bahkan menyebut medium padahal bukan,” pungkasnya.

Read Entire Article