Olahraga gym meningkatkan aliran darah ke otak, yang bisa memperkuat daya ingat, fokus, hingga kemampuan belajar seseorang. Banyak riset yang sudah menemukan bukti kaitan di antara keduanya.
Salah satunya di British Journal of Sports Medicine, olahraga rutin termasuk gym terbukti meningkatkan fungsi kognitif dan memperlambat penurunan daya ingat, bahkan saat usia lanjut.
Psikiater dr Lahargo Kembaren SpKJ juga menyebut gym punya manfaat nyata untuk tren kesepian yang belakangan meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gym juga dapat menjadi sebagai Ruang Sosial di tengah banyaknya orang yang kesepian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ancaman kesehatan global saat ini adalah kesepian," tuturnya kepada detikcom, saat dihubungi Jumat (1/8/2025).
"Berada di lingkungan gym memberi kesempatan untuk bersosialisasi, bertemu orang baru, dan membangun dukungan sosial. Interaksi sosial sendiri terbukti bisa memperkuat kesehatan mental dan mengurangi perasaan kesepian," lanjut dia.
dr Lahargo menekankan kesimpulannya, gym bukan hanya perkara membentuk tubuh, tetapi manfaatnya jauh lebih luas dari itu. Bahkan tidak hanya untuk jantung, tulang, serta mental, kualitas hidup dengan aktif ngegym bisa meningkat secara keseluruhan.
"Bahkan WHO menganjurkan orang dewasa untuk aktif secara fisik minimal 150 menit per minggu, dan gym adalah salah satu cara terbaik untuk mencapainya," sorot dr Lahargo.
dr Lahargo sebelumnya menilai pernyataan Timothy Ronald yang menyebut gym hanya untuk orang bodoh dan orang dengan 'otak kosong' adalah distorsi kognitif. Ada kemungkinan yang bersangkutan tidak menyadari tengah memiliki pola pikir keliru atau menyimpang.
Baik pada diri sendiri, orang lain, maupun dalam kondisi tertentu. Distorsi kognitif sendiri terbagi dalam beberapa jenis, terbanyak adalah labeling.
Labeling yakni emberi label menyeluruh pada seseorang, atau sekelompok berdasarkan satu aspek.
"Contohnya, hanya karena seseorang suka gym dan jaga tubuhnya, berarti dia bodoh. Padahal kecerdasan seseorang tidak bisa diukur hanya dari aktivitas fisik yang dia pilih," tutur dr Lahargo.
Labeling dalam hal ini menyederhanakan kompleksitas manusia dan bisa menjadi bentuk penolakan emosional pada sesuatu hal yang sebenarnya tidak dipahami.
Kemungkinan kedua adalah overgeneralization atau generalisasi berlebihan. Saat seseorang menarik kesimpulan luas satu dari dua pengalaman yang dialami.
"Misalnya, dia berbicara, pernah ketemu satu orang yang suka gym tetapi ngobrolnya nggak nyambung, lalu disimpulkan, berarti semua anak gym bodoh," beber dr Lahargo memberi contoh.
Simak Video "Video: Refal Hady Tekankan Pentingnya Cuci Muka"
[Gambas:Video 20detik]
(naf/up)