Belum lama ini istilah 'performative male' viral menjadi perbincangan netizen, khususnya kalangan Gen Z. Istilah tersebut merujuk pada kepribadian pria yang berusaha menyukai hal-hal yang disukai perempuan, demi menarik perhatian lawan jenis.
Misalnya, seorang laki-laki berusaha suka musik k-pop, membaca buku bertema perempuan, hingga minum matcha latte, atau apapun hal yang cenderung lebih disukai wanita.
"Intinya adalah performative male biasanya ngelakuin itu semua cuma buat narik perhatian cewe2 alt, makanya disebut "performative" dan stereotipnya biasanya sok2 feminis, dengerin clairo/mitski, gtgt deh," jelas netizen pemilik akun X @s***ak*** menyoroti istilah performative male.
"Konsep performative male contest tuh basically see which guy in the room yg personality-nya paling palsu dan tailor made to attract mangsa perempuan at worst, and be a magnet for social validation at best, dan lalu kamu angkat tangan akui diri dan the room haha hihi tepuk tangan," kata netizen lain yang kurang setuju dengan kepribadian ini.
Psikolog klinis Ghina Sakinah Safari menuturkan secara umum 'performative male' bukanlah sebuah gangguan psikologis, melainkan kecenderungan sosial. Ini dilakukan sebagai bentuk strategi menyesuaikan diri di lingkungan sosial untuk mendapat validasi atau status dari persepsi orang lain.
Daripada menjadi orang lain dan memaksa diri menyukai hal-hal yang disukai lawan jenis, menurut Ghina ada banyak hal positif dalam diri yang bisa ditingkatkan agar kepribadian tetap menarik. Pertama adalah mengenali motif diri sendiri. Ini dilakukan untuk mengetahui hal-hal autentik apa yang dimiliki diri atau apakah hal-hal yang disukai, memang benar-benar disukai, atau hanya karena orang lain suka.
"Lalu, bangun nilai-nilai internal, misalnya kejujuran, integritas, empati, atau ketekunan, dan tunjukkan itu lewat tindakan nyata, bukan simbol estetik semata," kata Ghina ketika dihubungi detikcom, Rabu (6/8/2025).
Ghina mengingatkan untuk percaya atas diri sendiri. Jika seseorang memang suka memBACA, mendengar musik k-pop, atau minum matcha, lakukanlah dengan nyaman tanpa tujuan memamerkan. Ketulusan akan lebih terasa menarik dibanding hanya 'pose estetika'.Terakhir, penting untuk fokus pada koneksi daripada impresi. Daripada memaksakan topik atau perilaku agar disukai, biarkan hubungan itu tumbuh dari kesamaan sikap dan komunikasi yang nyata.
"Rendah hati, pengertian, terbuka belajar adalah hal yang lebih tahan lama dan dihargai secara emosional daripada sekadar 'tag trend'," tandasnya.
(avk/naf)