Pada tanggal 29 Juli 2025, publik dikejutkan oleh konferensi pers yang diadakan oleh Polda Metro Jaya bersama Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) mengenai kematian seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan (ADP). Setelah berbagai spekulasi yang mencuat di media dan oleh para pengamat, hasil penyelidikan tim kepolisian menyimpulkan bahwa ADP mengalami burnout yang berat, hingga akhirnya memilih mengakhiri hidupnya sendiri atau bunuh diri.
Meninggalnya ADP tidak hanya mencerminkan tragedi personal, tetapi juga membuka ruang diskursus untuk melihat burnout sebagai fenomena sosial dalam masyarakat modern yang sarat akan tekanan performativitas dan ekspektasi institusional.
Dalam tulisan ini, penulis tidak membahas mengenai kasus kematian ADP, melainkan mencoba menganalisis burnout sebagai gejala sosial dalam dunia kerja yang muncul dari dinamika struktural, budaya kerja, dan identitas dalam masyarakat birokratis dan meritokratis, di mana secara sosiologis, burnout merupakan konsekuensi dari sistem sosial yang mengglorifikasi keberhasilan dan mengabaikan dimensi afektif manusia.
Lonjakan angka bunuh diri di Indonesia selama beberapa tahun terakhir mencerminkan adanya gejala sosial yang semakin mengkhawatirkan. Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri sepanjang periode 1 Januari hingga 28 Mei 2025 saja telah tercatat 594 kasus bunuh diri.
Sebelumnya, tren ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, di mana dari 640 kasus pada 2022, melonjak menjadi 1.288 kasus pada 2023, dan kembali naik menjadi 1.445 kasus pada 2024. Kasus bunuh diri ini didominasi oleh kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental atau burnout.
Burnout dalam dunia kerja tidak selalu berujung pada tindakan ekstrem seperti bunuh diri. Dalam banyak kasus, ia menjelma menjadi sikap quiet quitting, yakni memilih bekerja sebatas tanggung jawab formal, tanpa keterlibatan emosional, inisiatif, atau semangat untuk melampaui batas minimum.
Mereka yang mengalami quiet quitting cenderung menolak lembur, menghindari tugas tambahan, dan secara perlahan menjauh dari atmosfer kerja yang menuntut performa secara terus-menerus. Dalam bentuk yang paling nyata, quiet quitting bahkan dapat berakhir pada keputusan untuk mengundurkan diri sepenuhnya dari tempatnya bekerja atau resign.
Quiet quitting merupakan bentuk perlawanan diam-diam terhadap hustle culture, yakni budaya kerja yang menjunjung tinggi kerja berlebihan sebagai tolok ukur keberhasilan hidup. Bagi banyak pekerja muda, quiet quitting menjadi strategi bertahan, demi menjaga kesehatan mental dan batas kehidupan personal. Sementara bagi organisasi kerja, gejala ini menjadi indikator serius dari melemahnya motivasi kerja, pudarnya loyalitas, dan renggangnya hubungan antara individu dan institusi kerja.
Namun di luar gejala quiet quitting, burnout sejatinya tidak dapat direduksi sebagai persoalan psikologis semata. Ia merupakan refleksi dari tekanan sistemik yang merasuk ke dalam kehidupan modern, seperti isolasi sosial yang kian akut, ekspektasi ekonomi yang menyesakkan, budaya kerja yang menormalisasi performa tinggi tanpa jeda, dan tidak adanya apresiasi hingga insentif tambahan kerja.
Dalam perspektif sosiologis, meningkatnya angka bunuh diri dan gejala