
Wakil Ketua DPD RI Yorrys Raweyai meminta Presiden Prabowo Subianto untuk segera memberikan arahan strategis dalam menangani konflik di Papua.
Sebab Yorrys menilai, eskalasi kekerasan di wilayah Papua semakin meningkat dan tak lagi cukup ditangani dengan pendekatan keamanan semata.
“Tinggal sekarang pemerintah pusat dengan kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo ini, apa arahnya yang bisa kita pakai sebagai guidance untuk menyelesaikan Papua,” kata Yorrys dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (27/5).
Yorrys mengatakan bahwa pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan belum mampu meredakan situasi. Bahkan, pasca pemekaran daerah otonom baru (DOB) di Papua, konflik disebutnya justru mengalami peningkatan.
“Eskalasi ini tidak makin hari makin menurun, tetapi akhir-akhir ini dengan pemekaran itu sendiri, eskalasinya makin meningkat kemudian dia mengkristal,” kata Yorrys.
“Dalam satu minggu atau dua minggu terakhir ini kan eskalasinya cukup meningkat, dengan korban yang cukup banyak, terutama pengungsi. Pengungsi dari mana-mana, mereka keluar dari kabupaten dan tidak tahu, ada yang hidup di hutan, ada yang nampung di keluarga-keluarga dengan tidak ada kepastian arah. Kepastian ini mau apa sebetulnya,” sambungnya.

Menurut dia, saat ini terdapat banyak aparat keamanan non-organik di Papua, selain yang organik seperti TNI dan Polri.
Kehadiran aparat dalam jumlah besar tersebut, kata Yorrys, justru memperkuat kesan bahwa masyarakat Papua hanya dianggap sebagai objek pengamanan, bukan subjek dalam penyelesaian persoalan.
Dalam pandangannya, konflik yang terus berlangsung selama hampir tujuh dekade ini tidak bisa disederhanakan sebagai persoalan ekonomi atau infrastruktur belaka.
“Masalah Papua ini bukan masalah pembangunan atau masalah ekonomi tetapi ini adalah masalah politik. Ini menjadi persoalan yang perlu untuk ada kesamaan persepsi dari semua stakeholder yang ada di Papua maupun dengan pemerintah pusat, untuk bagaimana kita bisa hidup sejajar dan bisa berdialog untuk menyelesaikan masalah ini,” tegas Yorrys.
Sebagai solusi ke depan, Yorrys dan senator lain yang mewakili daerah pemilihan Papua mendorong adanya satu persepsi nasional yang utuh dalam menangani Papua.
Mereka membentuk Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPD-DPR RI Tanah Papua atau MPR for Papua. Mereka pun berkomitmen untuk menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah.
“Kami harapkan, dengan komunikasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kami MPR for Papua bisa menjadi satu komunikasi yang lebih intensif untuk duduk bersama-sama, bagaimana mencari satu solusi yang komprehensif untuk penyelesaian Papua ke depan,” tutup Yorrys.
Pada kesempatan yang sama, MPR for Papua juga membacakan pernyataan sikapnya mengenai konflik bersenjata di wilayah-wilayah bagian pegunungan seperti Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Nduga dan beberapa wilayah lainnya beberapa waktu terakhir.
Berikut isi pernyataan MPR for Papua:
Konflik bersenjata di Tanah Papua yang telah berlangsung sejak lama dan belum juga menunjukkan intensitas yang menurun atau berkurang, bahkan semakin meningkat dan bertambah, membutuhkan respons terukur, terencana dan komprehensif dari seluruh pihak. Tidak hanya pemerintah daerah, tapi juga pemerintah pusat yang membawahi aparat keamanan (TNI-POLRI) serta Kementerian dan Lembaga yang berkaitan langsung dengan penanganan konflik dari hulu hingga hilir.
Eskalasi jumlah korban dari berbagai pihak, baik aparat keamanan maupun masyarakat sipil harus dipandang sebagai dampak dari persoalan konflik yang berlangsung sejak lama. Sehingga penanganan atas situasi tersebut tidak parsial, pragmatis dan jangka pendek, apalagi sekadar mengandalkan penyelesaian dari perspektif keamanan semata.
Ribuan korban yang mengungsi sejak konflik bersenjata yang berlangsung beberapa bulan belakangan ini, harus membuka mata, pikiran dan hati pemerintah pusat untuk mengevaluasi kebijakan penanganan konflik di Tanah Papua. Pendekatan keamanan dengan pengerahan aparat TNI-POLRI di Tanah Papua harus dihentikan. Kebijakan tersebut hanya akan terus melahirkan trauma yang berkepanjangan dan semakin memperkuat kesan bahwa masyarakat Papua adalah objek pengamanan, bukan subjek kemanusiaan.
Konflik yang terus berulang di Tanah Papua tidak bisa lagi direspons secara retoris oleh pemerintah pusat. Janji pemerintah pusat untuk menangani persoalan Papua dengan pendekatan humanis, rekonsiliatif dan jalan damai dengan mengedepankan Hukum dan HAM, harus diimplementasikan pada tataran riil disertai dengan kebijakan yang sejalan dengan janji tersebut.*
Pemerintah pusat harus melibatkan lembaga-lembaga formal dan konstitusional dalam menangani persoalan di Tanah Papua. Hal itu terutama dilakukan dengan mengedepankan komunikasi intensif antara pemerintah pusat, daerah dan elemen kemasyarakatan di Tanah Papua dengan Lembaga Perwakilan Rakyat yang merepresentasikan masyarakat Papua di bawah koordinasi FOR PAPUA MPR RI.
Komunikasi antarkelembagaan yang merepresentasikan masyarakat Papua di tingkat daerah dan di tingkat pusat, harus terjalin dengan maksimal. *Tidak boleh ada kebijakan yang bersifat sektoral*, mengingat konteks persoalan Tanah Papua memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia
Kementerian Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia, TNI dan POLRI, serta seluruh lembaga pemerintah pusat harus memiliki visi yang sama serta kebijakan yang beriringan. *For Papua MPR RI akan senantiasa menyediakan waktu dan kesempatan untuk memfasilitasi langkah-langkah bersama dan komprehensif bagi penanganan masalah di Tanah Papua.
Penanganan persoalan di Tanah Papua tidak bisa diselesaikan secara sepihak, melainkan membutuhkan kerja sama seluruh pihak yang berkepentingan dan berwenang di dalamnya. Konflik bersenjata dan ribuan pengungsi yang sedang mempertaruhkan nasib dan masa depan mereka, adalah dampak dari kebijakan masa lalu yang keliru. Tanpa komunikasi yang lebih baik, situasi tersebut akan terus berulang dan melahirkan korban-korban yang tidak berkesudahan.