Sebelum KKN, Ada PTM: Kisah Pengabdian Mahasiswa UGM Era 1950-an

3 weeks ago 6
 Dok. IstimewaRM. Wiratmo (tengah) saat mengikuti program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) UGM di Manado. PTM kini beralih rupa menjadi Kuliah Kerja Nyata (KKN). Foto: Dok. Istimewa

Sebelum era Kuliah Kerja Nyata (KKN) dimulai, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah lebih dulu menerjunkan mahasiswa ke pelosok Nusantara melalui program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Era PTM ini berlangsung dari 1951 hingga 1962.

PTM diinisiasi oleh para mahasiswa, dan pionirnya adalah Koesnadi Hardjasoemantri, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang kelak menjadi Rektor UGM 1986-1990. Di kemudian hari, Koesnadi juga menjadi perintis Kuliah Kerja Nyata (KKN). Gerakan ini didorong oleh situasi kurangnya guru terutama di luar Jawa karena banyak yang gugur dalam perang.

Salah satu peserta PTM itu adalah RM. Wiratmo, mahasiswa Fakultas Farmasi UGM angkatan 1959. Ia menjalani PTM dengan mengajar sekolah menengah Manado pada 1962-1964, yang sekaligus menjadi tahun terakhir PTM diselenggarakan sebelum digantikan dengan Kuliah Kerja Nyata di periode 1970-an.

 Pandangan Jogja/IqbaltwqRM. Wiratmo menuturkan pengalamannya mengikuti program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) UGM periode terakhir tahun 1962-1964. Foto: Pandangan Jogja/Iqbaltwq

“Tahun 1962 saya mendaftar PTM dan dikirim ke Manado sampai tahun 1964,” kenang Wiratmo saat ditemui Pandangan Jogja, awal Juli ini.

Mengabdi dalam Bayang-Bayang Konflik Bersenjata

Perlu diketahui, jika KKN saat ini rata-rata berlangsung dua bulan, program PTM saat itu bisa berjalan hingga dua tahun lamanya. Karena harus meninggalkan bangku kuliah selama dua tahun, ia mengalami kesulitan saat kembali ke kampus, dan baru berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1976.

Selama dua tahun di Manado, Sulawesi Utara, Wiratmo mengajar di sekolah menengah atas. Saat itu, lokasi KKN Wiratmo masih berada dalam suasana genting pasca perlawanan gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 1957. Akibatnya, ia harus menjalani pendidikan kemiliteran sebelum turun ke lapangan.

“Waktu itu masih status darurat militer. Jadi, Kodam XIII/Merdeka mengadakan latihan kemiliteran untuk pegawai sipil. Oleh kepala sekolah, saya didaftarkan ke LKPS—Latihan Kemiliteran bagi Pamong Praja dan Pegawai Sipil,” paparnya.

 Dok. IstimewaRM. Wiratmo mengikuti pembekalan Latihan Kemiliteran bagi Pamong Praja dan Pegawai Sipil (LKPS) sebelum diterjunkan ke Manado yang saat itu merupakan wilayah konflik. Foto: Dok. Istimewa

Situasi keamanan membuat sekolah tempat Wiratmo mengajar sering didatangi tentara. Para siswa yang ketakutan kadang berlari bersembunyi di balik punggungnya—sebuah respons yang dianggap lucu oleh Wiratmo, mengingat para muridnya adalah bekas pejuang bertubuh tinggi besar.

“Padahal saya kecil,” katanya terkekeh. Agar terlihat lebih garang, Wiratmo sengaja memelihara kumis. “Sekadar untuk menakuti, pokoknya sok berani saja,” ujarnya.

Selama menjalani PTM, Wiratmo mengajar di SMA 2 Manado dan sekolah filial—sekolah cabang dari sekolah induk—di Airmadidi, Minahasa Utara. Ia mengampu mata pelajaran Kimia dan Biologi, yang saat itu masih disebut sebagai ilmu tentang hewan, manusia, dan tumbuh-tumbuhan. Ia juga memberi edukasi seputar kesehatan.

“Waktu itu saya bersama tiga orang. Ada yang dari Ilmu Ekonomi dan Fisika,” katanya.

Namun, di sekolah filial yang terletak di tengah kebun kelapa, sering kali ia mengajar seorang diri karena guru lain tidak datang. “Akhirnya saya bagi-bagi. Satu kelas mencatat, kelas lain mengerjakan PR, kelas lainnya saya terangkan. Nanti bergantian,” jelasnya.

Dua tahun mengikuti PTM membuat Wiratmo menemukan panggilan hidupnya sebagai seorang pendidik. Sebagai seorang apoteker dan sarjana dari Fakultas Farmasi UGM, ia justru tak pernah menggunakan ijazahnya.

“Kuliah saya apoteker, tapi saya memilih tetap menjadi guru. Kadang-kadang saya lupa kalau saya itu apoteker,” ujarnya.

Tertundanya kelulusan bukan satu-satunya pengorbanan yang harus dilalui mahasiswa peserta PTM. Hingga program ini berakhir, setidaknya tiga orang mahasiswa gugur dalam pengabdian akibat konflik bersenjata.

Semangat PTM Diwariskan ke Anak Cucu

Angkatan Wiratmo menjadi yang terakhir mengikuti program PTM. Mulai 1962, UGM menghentikan pengiriman mahasiswa ke luar Jawa. Beberapa tahun kemudian, pada 1971, sebuah program baru dirintis menyusul usulan Direktur Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Koesnadi Hardjasoemantri. Dari situlah lahir program KKN seperti yang dikenal hingga hari ini.

Kini, lebih dari enam dekade setelah PTM berakhir, Wiratmo masih menjaga tali silaturahmi dengan rekan-rekan seperjuangannya melalui Ikatan Keluarga PTM (IKPTM), sebuah wadah yang masih aktif hingga sekarang. Uniknya, banyak anak dan cucu para alumni yang turut bergabung sebagai generasi penerus.

 Dok. IstimewaRM. Wiratmo menjadi satu-satunya pelaku PTM yang hadir pada reuni Ikatan Keluarga PTM (IKPTM) di Malang tahun ini, lantaran kawan-kawan seperjuangannya telah banyak yang wafat. Kegiatan-kegiatan IKPTM kini dilanjutkan oleh generasi penerus. Foto: Dok. Istimewa

“Awalnya saya hanya mengantar bapak atau ibu ke pertemuan mereka. Tapi sekarang, dengan ketua baru, PTM Nasional ini akan mengajak anak-anak dan cucu-cucunya, generasi muda, untuk mau bermanfaat di dalam kehidupan ini,” ungkap KP. Julius Eri R, putra Wiratmo.

Kini, generasinya ikut mengurus dan meneruskan semangat pengabdian para pendahulu mereka.

“Sampai sekarang, kami masih terus mengadakan kegiatan pertemuan rutin dan mayoritas yang hadir ya anak cucu pelaku PTM, hanya bapak (Wiratmo) dan ibu yang masih rutin datang, karena yang lain sudah banyak yang berpulang,” pungkas Julius Eri.

Read Entire Article