
Sejumlah bank di Indonesia mulai melirik pendanaan dari luar negeri sebagai strategi alternatif di tengah ketatnya persaingan menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) dan tekanan suku bunga yang masih tinggi di dalam negeri.
Bank Indonesia (BI) memberikan ruang melalui skema Rencana Pendanaan Luar Negeri (RPLN) agar perbankan dapat mengakses dana eksternal secara lebih fleksibel.
“Spirit dari RPLN itu memang untuk memberikan ruang kepada bank agar bisa memperoleh pendanaan dari luar negeri,” ujar Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M, dalam Taklimat Media di Kantor Pusat BI, Senin (26/5).
Menurutnya, kebijakan ini dirancang agar perbankan tidak hanya bergantung pada dana murah di pasar domestik, yang kini semakin kompetitif dan mendorong naiknya special rate. Dengan adanya RPLN, bank memiliki opsi untuk mencari sumber pembiayaan lain yang lebih efisien dari luar negeri.
“Dengan ini, bank yang tidak bisa bersaing dalam special rate dalam negeri bisa ambil dari pinjaman luar negeri,” lanjut Solikin.
Meski demikian, ia mengakui bahwa tidak semua bank langsung agresif menarik utang luar negeri. Tingkat ketidakpastian ekonomi global dan volatilitas suku bunga masih menjadi pertimbangan utama bagi sebagian besar bank.
“Kondisi ekonomi global masih penuh ketidakpastian. Bank khawatir jika suku bunga tiba-tiba naik setelah pinjaman diambil,” ujarnya.
Solikin menambahkan bahwa keputusan untuk memanfaatkan pendanaan luar negeri sangat bergantung pada kondisi internal bank, termasuk kesiapan permintaan kredit dan proyek-proyek yang akan dibiayai.
BI Naikkan Batas RPLN
Untuk mendukung kebijakan ini, BI meningkatkan batas maksimal RPLN dari sebelumnya 30 persen menjadi 35 persen dari modal. Langkah ini memberikan ruang lebih besar bagi bank untuk mencari pendanaan global.
Selain itu, BI juga melonggarkan kebijakan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).
Untuk Bank Umum Konvensional, rasio PLM diturunkan dari 5 persen menjadi 4 persen. Untuk Bank Umum Syariah, dari 3,5 persen menjadi 2,5 persen.
Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan fleksibilitas lebih dalam pengelolaan likuiditas bank.
“Sehingga diharapkan ini memberikan fleksibilitas pada perbankan dalam manajemen likuiditasnya,” kata Deputi Gubernur BI, Juda Agung.
Ia juga menekankan pentingnya interaksi antara permintaan dan penawaran kredit. Menurutnya, perlambatan kredit dalam dua bulan terakhir lebih banyak disebabkan oleh lemahnya permintaan, meskipun ada tekanan dari sisi suplai karena keterbatasan DPK.
“Kami melihat ada bank-bank tertentu yang pendanaannya di dalam negeri sudah semakin terbatas,” ujar Juda.
BI mengklaim telah menyiapkan simulasi untuk mengukur dampak jangka menengah hingga panjang dari implementasi skema RPLN terhadap indikator makroekonomi seperti pertumbuhan dan nilai tukar. Dampaknya diperkirakan akan mulai terlihat dalam 1 hingga 2 tahun ke depan.
Dari sisi jangka pendek, sudah ada beberapa bank yang terjadwal memanfaatkan skema ini.
Solikin juga menjelaskan bahwa pinjaman luar negeri dalam skema RPLN bisa mendapat insentif regulasi, misalnya tidak langsung dihitung sebagai utang jangka pendek dalam rasio kehati-hatian bank.
Ke depan, BI akan terus mendorong pemanfaatan RPLN agar sejalan dengan arah penyaluran kredit nasional, termasuk melalui Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang diarahkan ke sektor prioritas seperti perumahan rakyat, UMKM, dan ekonomi hijau.