Jakarta -
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menetapkan serangkaian perubahan tarif kepada sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia. Perubahan tarif ini ditetapkan melalui perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada Kamis (31/7) waktu setempat.
Tarif baru tersebut mencakup bea masuk sebesar 35% untuk banyak produk dari Kanada, 50% untuk Brasil, 20% untuk Taiwan. Ada juga sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang dikenakan tarif sebesar 19%.
Meski begitu, penetapan tarif ini ternyata membuat pasar saham global jatuh pada Jumat (1/8). Kemudian banyak negara serta perusahaan berebut mencari cara untuk mencapai kesepakatan yang lebih baik dengan AS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir Reuters, Sabtu (2/8/2025), salah satu pasar saham yang terpuruk imbas penetapan tarif tersebut adalah AS sendiri. Di mana indeks saham Dow Jones Industrial Average (DJI) ditutup anjlok 1,23%.
Kemudian ada juga S&P 500 (.SPX), yang jatuh 1,6% dan Nasdaq Composite (.IXIC) yang anjlok hingga 2,24%. Padahal ketiga indeks saham tersebut merupakan patokan kondisi pasar saham AS, sekaligus salah satu indeks saham yang paling banyak digunakan.
Tidak hanya Amerika, indeks saham gabungan di Eropa juga tercatat ikut terpuruk. Misalkan saja dengan indeks saham STOXX 600 Eropa (.STOXX) jatuh 1,89% pada perdagangan Jumat (1/8).
Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan penetapan tarif baru Trump memang menciptakan ketidakpastian yang lebih besar terhadap pasar global. Belum lagi banyak detail yang belum jelas dalam penerapan tarif tersebut yang membuat banyak investor dan pengusaha khawatir.
Namun ia menegaskan ketidakpastian terkait tarif dan keresahan banyak negara hingga perusahaan sangat dibutuhkan AS agar Negeri Paman Sam ini berada di posisi yang lebih kuat sehingga bisa lebih memegang kendali.
"Ketidakpastian terkait tarif sangat penting untuk mendapatkan pengaruh yang kami butuhkan guna menciptakan kondisi yang memungkinkan presiden menciptakan kesepakatan dagang yang telah kita saksikan selama beberapa minggu terakhir," ujar Ketua Dewan Penasihat Ekonomi, Stephen Miran.
(igo/eds)