
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memprediksi tren penerimaan negara dari sektor hulu migas tidak akan mencapai target pada tahun 2025.
Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto, mengatakan realisasi penerimaan negara per Juni 2025 atau semester I 2025 mencapai USD 5,88 miliar. SKK Migas memprediksi outlook penerimaan negara akan lebih rendah dari target APBN 2025.
"Penerimaan negara, target 2025 USD 13,03 miliar, realisasi sampai dengan Juni USD 5,88 miliar atau 45,1 persen, outlook-nya USD 10,83 miliar atau 8,5 persen," ungkap Djoko saat konferensi pers, Senin (21/7).
Djoko menyebutkan, salah satu faktor lesunya penerimaan negara dari hulu migas diakibatkan tren pelemahan harga minyak mentah global pada tahun ini. Adapun target Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN 2025 sebesar USD 82 per barel.
"Ini karena harga minyak di dalam APBN itu USD 82 USD per barel, realisasinya rata-rata di bawah USD 70 atau 69 barel, otomatis karena harga minyaknya yang rendah meskipun produksinya kita bisa mencapai target," ujar Djoko.
Sementara itu, Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi, menjelaskan outlook penerimaan negara dari hulu migas yang lebih rendah. Selain karena harga minyak mentah, juga dipengaruhi kinerja lifting migas.
Sepanjang semester I 2025, lifting minyak nasional mencapai 578 ribu barel per hari, 95,5 persen dari target APBN 2025. Sementara realisasi lifting gas mencapai 5.554 juta kaki kubik per hari (mmscfd), sudah melebihi target yakni 5.628 mmscfd.
"Faktor pendukung untuk mencapai penerimaan negara ini tentunya yang pertama adalah produksi dan lifting ya, dan kalau kita catat tadi kecenderungannya lifting akan sesuai dengan target APBN 2025 harapan kita," jelas Kurnia.
Namun untuk harga minyak mentah, Kurnia menyebutkan SKK Migas pesimistis trennya akan menguat sepanjang tahun ini, yang otomatis akan memukul penerimaan negara.
"Kami melihat ICP berpotensi lebih rendah dari target APBN yang sebesar 82 USD per barrel. Jadi kami berkirakan ICP yang akan realisasi aktualitasnya sekitar 70-72 USD per barrel ini akan mengerek turun target penerimaan negara kita," tutur Kurnia.