Jakarta -
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah berjanji bahwa tarif tinggi yang diberlakukannya akan mendukung kebangkitan manufaktur Amerika. Namun sejauh ini, eksperimen tersebut gagal mendorong lonjakan lapangan kerja.
Tidak hanya tingkat perekrutan yang lemah, tetapi industri yang paling terdampak tarif tinggi ini pun juga telah kehilangan pekerja. Kondisi ini justru berkebalikan dari hasil yang diharapkan.
Analisis terbaru dari Kepala Ekonom Apollo Global, Torsten Slok, melaporkan pertumbuhan lapangan kerja di sektor-sektor yang terdampak tarif, termasuk manufaktur, konstruksi, dan transportasi, berubah negatif tak lama setelah Trump memulai perang dagangnya musim semi ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil riset Slok menunjukkan bahwa meskipun sektor yang terdampak tarif sempat mengalami kehilangan lapangan kerja dalam beberapa tahun terakhir, Namun kali ini adalah pertama kalinya pertumbuhan penggajian negatif selama beberapa bulan.
Riset Slok didasarkan pada rata-rata pergerakan triwulanan data ketenagakerjaan dari Biro Statistik Tenaga Kerja. Lapangan kerja di industri yang tidak terdampak tarif terus meningkat, meskipun dengan laju yang lebih lambat dibandingkan sebelum perang dagang.
"Dampak tarif terhadap perekrutan kini tak terbantahkan. Kebangkitan manufaktur, lonjakan perekrutan, tidak terjadi," ujar kepala ekonom di RSM, Joe Brusuelas, dikutip dari CNN Business, Rabu (10/9/2025),
Laporan pekerjaan bulan Agustus yang dirilis Jumat lalu mencatatkan, lapangan kerja di sektor manufaktur telah menurun empat bulan berturut-turut. Data Bureau of Labor Statistics (BLS) mencatat, Industri manufaktur AS memiliki 78.000 lapangan kerja lebih sedikit dibandingkan tahun lalu,
Tarif memang jelas tidak akan pernah secara drastis meningkatkan lapangan kerja manufaktur dalam semalam. Masih terlalu dini untuk mengatakan bagaimana strategi Trump ini akan berjalan dalam jangka panjang.
Namun demikian, beberapa ekonom menilai bahwa strategi perdagangan yang kacau dari pemerintah justru menjadi bumerang setidaknya dalam dua hal. Pertama, menyebabkan ketidakpastian sangat besar yang telah melumpuhkan produsen dan perusahaan lain di industri yang terdampak tarif, sehingga mereka mengurangi perekrutan.
Kedua, kenaikan tarif baja, aluminium, tembaga, dan bahan baku utama lainnya. Kondisi ini pun telah menaikkan harga bagi produsen AS yang seharusnya diuntungkan oleh agenda perdagangan.
"Ternyata ekonom benar bahwa melancarkan perang dagang akan mengakibatkan pertumbuhan yang lebih lambat dan berkurangnya lapangan kerja. Itulah yang sedang terjadi," kata Brusuelas.
Hilangnya lapangan kerja di industri yang terkena tarif telah berkontribusi pada perlambatan dalam perekrutan di seluruh perekonomian AS.
Riset JPMorgan mencatat, laju pertumbuhan lapangan kerja AS telah melambat menjadi hanya 29.000 selama tiga bulan terakhir, turun tajam dari 105.000 selama periode triwulan sebelumnya. Tingkat pengangguran tetap rendah, tetapi telah naik tipis dari 4,1% pada bulan Juni menjadi 4,3% pada bulan Agustus, tertinggi sejak akhir 2021.
Atas melemahnya angka perekrutan, masyarakat Amerika semakin pesimis tentang prospek mereka mendapatkan pekerjaan baru. Data survei yang dirilis Senin oleh Federal Reserve New York mencatat, konsumen meyakini hanya ada 45% peluang untuk mendapatkan pekerjaan baru, turun dari 51% pada bulan Juli.
Ini merupakan angka terendah sejak survei diluncurkan pada tahun 2013 dan jauh lebih rendah daripada angka-angka selama sebagian besar masa jabatan pertama Trump. The Fed New York mengatakan penurunan ekspektasi untuk mendapatkan pekerjaan baru paling terasa bagi mereka yang berpendidikan paling tinggi SMA.
Simak juga Video 'Trump soal Pabrik Hyundai Digerebek: Hubungan AS-Korsel Sangat Baik':
(shc/kil)