LMK Selmi Bantah Menagih Lisensi Musik ke Hotel Seperti Preman

4 hours ago 1
Denpasar -

Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi) membantah soal cara penagihan pembayaran lisensi musik yang dinilai seperti preman.

LMK Selmi mengeklaim penagihan pembayaran lisensi musik yang dilakukan kepada kepada pengelola hotel dan restoran itu sudah sesuai dengan mekanisme.

"Datang (menagih lisensi musik atau lagu) seperti preman, tidak seperti itu. Mereka saja yang tidak tahu," ujar Sekjen LMK Selmi, Ramsudin Manullang, saat dihubungi, Kamis (14/8).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ramsudin mengatakan LMK Selmi sudah menggandeng Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) untuk menyosiaisasikan pembayaran lisensi sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disahkan.

Meski begitu, ia mengakui beberapa manajemen hotel dan restoran anggota PHRI belum paham terkait kewajiban pembayaran lisensi itu.

"Ketika undang-undang itu disahkan, beberapa kali kami sosialisasi, ke mana-mana menggandeng PHRI Bali. Di Jakarta juga kami sosialisasi. Tapi, sepertinya PHRI sendiri dari pusat ke daerah nggak ada koordinasinya," imbuh Ramsudin.

Ramsudin menyebut sebanyak 120 hotel dan restoran di Bali sudah diminta membayar lisensi atas penggunaan musik dalam satu bulan terakhir. Penagihan itu menyasar restoran dan hotel bintang tiga hingga bintang lima.

"Sebulan lalu Selmi sudah dapat user baru, 120 hotel dan restoran," kata Ramsudin. User baru yang dia maksud adalah hotel hingga restoran yang baru kali pertama ditagih pembayaran lisensi musik.

Ramsudin mengungkapkan belum semua dari 120 hotel dan restoran yang sudah membayar lisensi musik. Menurutnya, masih ada beberapa pengelola hotel dan restoran di Bali yang dalam proses penagihan.

"Ada yang sudah bayar. Mereka kooperatif," kata Ramsudin.

LMK Selmi mengaku sudah berproses sebelum melakukan penagihan. Hal itu bertujuan untuk memastikan bahwa ada lagu atau musik yang diputar untuk tujuan komersial di area hotel maupun restoran.

"Tidak mungkin terjadi ada hotel yang tidak pakai lagu (tapi ditagih lisensi). Pasti kami cek dahulu," imbuh Ramsudin.

Cara Menagih Seperti Preman

Sebelumnya diberitakan, Ketua Umum (Ketum) PHRI, Haryadi B Sukamdani, keberatan dengan cara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam menagih royalti lagu atau musik. Haryadi menyebut LMKN memakai gaya preman.

"Memang gaya preman," ujar Haryadi di Kantor Pusat PHRI, Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025), seperti dilansir dari detikPop.

"Mereka LMK ataupun LMKN itu menarik mundur, tagihannya itu ditarik mundur sejak UU Hak Cipta berlaku. Padahal, namanya kontrak itu kan harus ada invois, perjanjian berlaku, itu tidak ada," imbuh Haryadi.

Haryadi mencontohkan para pengusaha hotel di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dibuat kaget lantaran tiba-tiba mendapat surat tagihan royalti musik dari LMKN.

Ia menyebut reaksi negatif masyarakat sangat tinggi terhadap cara penagihan lisensi yang diterapkan LMKN.

"Modelnya bener-bener ugal-ugalan. LMK maupun LMKN tidak ada perwakilan di Lombok. Jadi teman-teman anggota PHRI marah, minta dijelaskan. Jangan karena berlindung di balik undang-undang, semua jadi dibenarkan," ujar Haryadi.

Haryadi menilai wajar jika banyak pelaku usaha yang kemudian memutuskan untuk tidak memutar musik sementara waktu. Bagi mereka, lebih baik suasana sedikit hening ketimbang meributkan tagihan yang dianggap tak jelas.


-------

Artikel ini telah naik di detikBali, bisa dibaca selengkapnya di sini dan di sini.

Simak Video "Video Ariel Nidji soal Polemik Royalti: Saatnya Bersatu untuk Berbenah"
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)


Read Entire Article